Dayak Abal dan Desa Suput
Table of Contents
Dayak Abal adalah salah satu suku yang mendiami daerah Suput, Agung, dan Halong. Saya pun terkejut ketika membaca kutipan kalimat tersebut di internet, desa yang selama ini ditempati ternyata pernah didiami komunitas Dayak Abal. Ketika saya pulang kampung, langsung menumpahkan rasa penasaran kepada ibu, tapi hanya sedikit informasi yang di dapat, beliau menyarankan untuk bertanya langsung dengan salah satu pemuka agama di kampung, Abah Amin atau Bapak Nawardi biasa dipanggil, beliau juga salah satu staf pengajar di SDN Suput 1, kebetulan beliau malam nanti mengisi acara manakib di rumah angah saya. Berikut hasil pemaparan dari beliau yang dapat saya tangkap.
Memang benar dulu di Agung, Suput, dan Halong adalah tempat komunitas Dayak Abal bermukim, dan basisnya ada di Halong dan Buruk Nyiur. Mengenai Desa Halong sendiri sering orang-orang dikampung menyebutnya Suput Bahari atau bisa dikatakan kampung pertama Desa Suput, karena memang orang-orang Agung, Suput, dan Batu Ramai berasal dari situ. Banyak bukti yang menunjukan bahwa Halong adalah dulunya perkampungan yang ramai, bukti tersebut ialah :
1. Banyak terdapat bekas rumah – rumah bahari (usang), termasuk bekas rumah datu saya.
2. Kebun buah-buahan yang banyak.
3. Kuburan-kuburan tua.
4. Pematang sawah di Matarang
5. Mesjid Tua
Dari bukti-bukti tersebut di dukung pula dengan letaknya yang berada ditepi Sungai Tabalong, dimana sungai dulunya adalah sarana transportasi penting. Mengenai Dayak Abal yang pernah mendiami kawasan tersebut, disebutkan beliau ada beberapa bukti dan hasil analisa saya, yaitu:
1. Adanya bekas penggalan patung dari kayu ulin yang berada dibawah jembatan halong.
2. Timbuk Usang / jalan lama yang menghubungkan daerah pinggir Sungai Tabalong – Halong – Buruk Nyiur, jalan tersebut sekarang digunakan masyarakat sekitar sebagai sarana untuk ke kebun karet.
3. Masih ada penutur Bahasa Abal, walaupun sedikit.
4. Peninggalan budaya, seperti menggantung bendera Tapih Bahalai pada saat acara perkawinan, yang artinya pemberitahuan kepada roh-roh gaib, bahwa ada acara perkawinan, masih seputar perkawinan yaitu tentang mandi batatai (konon mandi batatai ini hanya boleh dilakukan dan dimandikan kepada keturunan Dayak Abal), dan juga penggunaan Piduduk ketika membangun rumah.
5. Peninggalan barang-barang sesembahan di hutan Kapin, konon hutan ini bekas penyembahan.
6. Tanah perkebunan, di Hutan Bingkuang.
Kalau saya perhatikan, nama daerah/hutan sangat awam dengan penamaan dalam bahasa Banjar/Melayu, contoh Kapin, Suput, Matarang, Lonte, Pangkual, Sanitong, dan lain sebagainya, penamaan ini lebih condong ke arah bahasa Dayak. Mengenai kepercayaan, sebelum Islam masuk mereka menganut Kaharingan, hal iini dubuktikan dengan adanya bekas tanah balai adat yang kini menjadi kebun masyarakat sekitar, dan adanya seorang Balian Kaharingan (menurut cerita ibu saya) yang rumahnya berbentuk rumah lamin berukiran dayak, serta (dulu) adanya patung/tiang pengikat sapi untuk ditombaki. Penggunaan kata Balai sampai saat ini masih digunakan, yang artinya tempat sembahyang, seiring dengan Islam masuk Balai juga berarti langgar atau mushalla, sedangkan yang besar namanya tetap mesjid. Islam masuk ke daerah ini sekitar tahun 1920an, dibawa oleh mubaligh yang bernama Muhammad Sunan, kemudian beberapa tahun kemudian datang lagi seorang mubaligh dari Amuntai, atas jasanya mengislamkan Suput, maka mubaligh tersebut dikawinkan dengan anak kepala kampung, dan keturunan ketiga dari mubaligh tersebut adalah bapak Nawardi (narasumber), yang menolak dengan Islam kemudian berpindah dengan sendirinya, diantaranya ke Nawin/Juin, Upau dan Kembang Kuning. Hubungan persaudaraan tetap terjalin walau beda agama, sebagai contoh bapak Tutun, seorang Dayak dari Kembang Kuning sering menengok ke Suput untuk berburu Babi dan mengurus kebun peninggalan keluarga.