Didi Kempot dan Perjumpaannya dengan Dangdut Banjar

Table of Contents


Jika Didi Kempot dijuluki sebagai Godfather of Brokenheart karena lagu campursari patah hati, maka demikian pula dengan Nanang Irwan, Godfather of Brokenheart dangdut Banjar. Siapa sih yang tidak kenal Nanang Irwan?, lagu-lagunya mengudara di radio sekitar tahun 2000-an dan selalu terngiang-ngiang ditelinga akan penggalan lirik “bantal guling ku ulah kawan”.

Pun demikian dengan Didi Kempot yang lagu-lagunya menemani saya sewaktu masa pemulihan dari luka akibat digayat mantri pakai senso (baca: basunat). Masih segar diingatan saya video clipnya hampir tiap hari diputar oleh TVRI; nenteng tulisan “Aku Bojo mu” sambil lari-lari distasiun. Walaupun saya gak ngerti liriknya, tapi saya suka iramanya. Gak peduli makna lagunya sedih, sing penting goyang.

Dangdut Banjar, demikian pula dangdut campursari diidentifikasikan oleh Andrew Weintraub, seorang etnografer berkebangsaan Amerika Serikat sebagai dangdut daerah yang muncul pasca jatuhnya orde baru. Varian dangdut ini tentu berbeda dengan dangdut biasa (menurut klasifikasi Weintraub) yang lebih banyak dipengaruhi oleh unsur musik India.

Dangdut daerah ini muncul akibat kejenuhan akan kebudayaan, termasuk musik yang dijadikan alat politik rezim orde baru untuk memasyarakatkan gagasan ke-nasional-an. Dengan kata lain, musik harus memunculkan kesan nasional, misalnya dominasi penggunaan bahasa Indonesia pada lirik lagu, meskipun ada sedikit unsur kedaerahannya. Contohnya lagu Aduh Buyung yang dipopulerkan Manis Manja Group. Secara tidak langsung, kondisi ini mengenyampingkan musik daerah yang pure berbahasa lokal.

Weintraub membagi periodeisasi dangdut sebagai berikut. Jika tahun 1970-an dangdut dilecehkan sebagai bentuk budaya populer, dikomersialkan tahun 1980-an, dimaknai ulang sebagai musik populer nasional tahun 1990-an dan menjadi musik lokal yang dimediasi secara nasional tahun 2000-an. Didi Kempot dan Nanang Irwan muncul pada era yang terkahir, disaat tarling, pong-dut sunda, koplo jawa, dangdut campursari dan tentu saja dangdut banjar sedang menggeliat.

Sama-sama banyak menelurkan karya yang bertema patah hati, lantas apakah Didi Kempot dan Nanang Irwan sekongkol untuk bikin lagu?. Saya rasa tidak. Tapi cocok untuk kolaborasi. Dan itu terlihat ketika Didi Kempot membawakan lagu preman kalimantan Perawan Kalimantan yang ternyata itu adalah lagu Karindangan-nya Nanang Irwan.

Pertama kali dengar lagu ini sekitar tahun 2011-an di Radio Tanjung Puri FM (sekarang Nirwana Tanjung) persis bulan ramadan. “Dangdut banjar di campursarikan, ternyata asik juga” gumam saya. Khas lagu Nanang Irwan dibalut irama musik khas campursari. Seperti minum banyu lahang campur wedang jahe. Segar (pinanya).

Jika Nanang Irwan bercerita tentang kerinduannya akan si gadis berambut panjang. Maka, Didi Kempot menceritakan kerinduannya pula pada gadis cantik Kalimantan. Berbeda subjek-objeknya, tapi sama-sama merindui.

Berdasarkan pengamatan tidak sengaja, ini adalah lagu favorit abang-abang tukang Lalapan Sari Laut Lamongan yang (mungkin) merantau di Tanah Banjar ini. Bagaimana tidak, ini lagu diputar-putar terus sampai dulak. Pun demikian dengan abang-abang tukang nasgor. Saya berasumsi bahwa, lagu ini mewakili perasaan mereka yang sedang rindu kampung halaman, tapi jauh merantau di Kalimantan.

Bagi saya pribadi, Didi Kempot turut punya andil dalam menaikan citra dangdut banjar di kancah nasional. Setidaknya lagu Karindangan bisa ternasionalkan melalui Perawan Kalimantan. Ini menandakan bahwa dangdut Banjar sebenarnya punya potensi besar untuk menasional (lagi) setelah era Hamiedhan AC dan Anang Ardiansyah,  seperti halnya campursari dan pop minang.

Kini sang Godfather of The Brokenheart Campursari, Didi Kempot sudah tiada. Karindanganya pada perawan Kalimantan tetap abadi dan takkan ter-ambyar-kan sampai kapanpun.


Post a Comment